Rabu, 09 Maret 2011

Konsep Pemanfaatan Bangunan Bersejarah

Banyak kota di Indonesia dipandang memiliki bangunan peninggalan sejarah dan budaya yang utuh dan kaya dengan khasanah budaya yang menarik dan memungkinkan untuk dijadikan daya tarik kegiatan wisata budaya yang bervariasi. Sebagai peninggalan sejarah, bangunan bersejarah tersebut sarat dengan nilai-nilai tradisi, historis dan perjuangan bangsa adalah aset yang dapat dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata budaya.
Namun demikian, pemanfaatan bangunan bersejarah perlu diperhatikan mengenai beberapa peraturan dan perudangan yang mengatur mengenai bangunan bersejarah.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, terdapat pasal yang membahas mengenai upaya-upaya untuk memanfaatkan dan pengaturan keberadaan bangunan bersejarah. Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini dibuat sebagai penganti Monumenten Ordonantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), dan Monumenten Ordonantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 1934) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Pengertian mengenai benda cagar budaya tercantum di dalam Bab I, ayat I, yaitu:
Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur         sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Atraksi nilai sejarah dari bangunan bersejarah menurut Lubis (1990:101) dalam tulisannya “What makes a building historic?” bahwa bangunan bersejarah ditentukan oleh:
a.           Usia dan sifat keantikan.
“...people are attracted to old building for much the same combination of sentimental, aesthetic and solidly commercial as they attracted to old furniture, old books, old porcelain and other antiques. Reverence for age was one of prime forces behind the development of the preservationist movement...”

b.     Keterkaitan dengan peristiwa dan orang yang terkenal di masa lampau.
“...some people would argue, is not so much its age as its associations with famous events or people ...”.
c.     Dokumen aspek-aspek kehidupan (way of life, custom, process, function) yang penting dari suatu masyarakat di masa lampau.
“... that it throws light on an important aspect of the lives of people in the past. It is not just as an antique, nor as a shire, but as a document, as a piece of vital evidence about the past society that created and used it, that building deserves to be as historic...”. 

Menurut pendapat seorang pakar bangunan bersejarah dari ITB Bandung, Ir. Riyadi Joedodibroto, istilah pemanfaatan bangunan bersejarah erat kaitannya dengan konservasi atau pelestarian bangunan bersejarah. Dasar dari keterkaitan tersebut adalah bahwa memanfaatkan bangunan bersejarah, terlebih dahulu harus melakukan pelestarian bangunan tersebut, dan upaya pelestarian bangunan bersejarah tersebut dalam kaitan dengan upaya pemanfaatannya harus dilakukan secara berkelanjutan agar dapat diwariskan dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
Dalam pemanfaatan bangunan bersejarah, dapat memanfaatkan elemen dari bangunan bersejarah tersebut, diantaranya adalah menceritakan kesejarahan, kebudayaan dan eksistensi kebudayaan dari suatu proses perjalanan sejarah dari daerah yang bersangkutan, walupun tidak tertutup kemungkinan bangunan bersejarah dan lingkungan sekitarnya, telah mengalami banyak perubahan baik fisik bangunan (tata guna hak kepemilikan dan pengelolaan, ornamen bangunan) maupun non fisik (adat istiadat, kehidupan tradisi, upacara ritual dan seni budaya yang melekat serta bersinergi dengan bangunan).
Dari segi kesejarahan bangunan bersejarah tersebut telah banyak mengalami perubahan, seperti status pemerintahan (dari pemerintahan yang berdiri sendiri menjadi bagian dari wilayah Negara Indonesia), luas kawasan yang semakin menyempit, serta kepemilikan lahan telah banyak dimanfaatkan baik untuk kepentingan Pemerintah Kotamadya dan Kabupaten setempat.
Banyak kasus terjadi, dimana bangunan peninggalan bersejarah terjadi pengrusakan, penghancuran dan penghilangan dengan atas nama tidak sesuai dengan perkembangan jaman, lebih mengandung nilai ekonomi tinggi seandainya dijadikan bangunan komersial.
Namun perlu diingat, bahwa bangunan peninggalan bersejarah, ternyata banyak yang mempunyai benang merah yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu yang membentuk identitas, karakter dan daya tarik tersendiri bagi kehidupan masyarakat disekitar bangunan dan daerah setempat.
Meskipun pada awalnya bangunan peninggalan bersejarah tersebut tidak dikaitkan langsung dengan aspek pariwisata, tetapi sesuai dengan perkembangan jaman dan pemikiran baru di era modern, diperlukan perubahan pandangan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan bangunan tersebut, bukan hanya sebagai monumen yang bernilai sejarah dan penanda kejayaan Bangsa Indonesia di masa lalu, tetapi untuk kepentingan pariwisata, Budihardjo (1984:4) menerangkan manfaat dari upaya atau kegiatan pelestarian dan pemanfaatan bangunan bersejarah, yaitu:
1.  Lingkungan dan bangunan kuno dengan beragam arsitekturnya yang khas merupakan aset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata.
2.  Peninggalan karya arsitektur kuno, baik yang tradisional maupun peninggalan kolonial, merupakan rekaman sejarah dalam bentuk visual yang menyiratkan kesinambungan perikehidupan masyarakat dari waktu ke waktu.
3. Pada masa-masa yang penuh perubahan secara cepat, lingkungan dan bangunan kuno merupakan suasana tersendiri yang unik, segar dan akrab serta dapat menjadikan tanda/land mark untuk orientasi dalam kehidupan.
4.  Generasi mendatang membutuhkan rasa aman dan kebanggaan yang akan diperoleh melalui peluang untuk melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah serta kekayaan budaya nenek moyangnya.

Letak bangunan bersejarah yang banyak di pusat pemerintahan kota, mempunyai keterkaitan dan kesinambungan dengan bangunan lainnya sangat memungkinkan untuk dijadikan obyek dan daya tarik yang beragam, diantaranya sebagai berikut:
1.      Obyek dan Daya Tarik Wisata Niaga
Suatu bangunan bersejarah dapat disinergikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya yang menyediakan fasilitas perniagaan. Hal ini memungkinkan bila bangunan bersejarah tersebut berdekatan dan mempunyai keterkaitan dengan kegiatan ekonomi suatu kawasan/daerah.
Contohnya:
Kawasan Keraton Surakarta yang terletak di Kota Solo, sebagai salah satu bangunan bersejarah yang banyak dapat menceritakan kesejarahan dan menjadi cikal bakal pusat kebudayaan Jawa, mampu bersinergi dengan keberadaan Pasar Klewer sebagai pusat perdagangan kain batik tradisional dan yang modern diantaranya Galeri Danar Hadi, Batik Keris, dll.
2.   Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam
Bila bangunan tersebut terletak di suatu kawasan yang mempunyai panorama alam yang memungkinkan diadakan kegiatan-kegiatan kepariwisataan.
Contohnya :
Keterkaitan dengan adanya obyek wisata Tawangmanggu, dan wisata budaya lainya (Puro Mangkunegaran, Rumah Bangsawan atau Pangeran, dan lainnya). Obyek wisata tersebut saling berkaitan dengan membentuk jaringan paket wisata Budaya Kota Solo, disamping karena faktor lokasi obyek wisata yang tidak terlalu jauh antara satu obyek dengan obyek wisata yang lain.

Dari dua contoh fenomena pemanfaatan bangunan bersejarah tersebut di atas, hal yang perlu di perhatikan adalah mengenai manajemen bangunan bersejarah itu sendiri. Sue Millar dalam S. Medlik (1991:115) mengemukakan, “Good heritage management with a major focus on heritage interpretation and preservation ensures that one complements the other”.

Langkah–langkah dalam penyiapan dan pengelolaan bangunan bersejarah dinataranya :

Langkah pertama adalah konservasi bangunan bersejarah tersebut sesuai dengan kondisi aktualnya. Bentuk konservasi adalah preservasi, rekonstruksi, restorasi, adaptasi dan revitalisasi, seperti telah dijelaskan pada batasan-batasan konservasi.
Langkah kedua adalah interpretasi. Wallin dalam Nuryanti (1996:3) mendefinisikan interpretasi sebagai berikut:
“The helping of a visitor to feel something that the interpreter fells, a sensitivity to the beauty, complexity, variety and interrelated of the environment, a sense of wonder, a desire to know. It should help visitors develop perception”.
Jadi inti dari interpretasi adalah membangun persepsi wisatawan mengenai obyek yang dikunjungi, sehingga wisatawan dapat memahami sepenuhnya apa yang disampaikan oleh interpreter (pengelola bangunan bersejarahyang bersangkutan).
Langkah ketiga adalah presentasi. Soekadijo (1996:64) menyatakan bahwa mempresentasikan atraksi wisata dengan cara yang baik itu dapat dicapai dengan mengatur prespektif ruang, waktu dan sosial budaya. Lebih lanjut dijelaskan:
1.   Mengatur prespektif ruang, lebih ditekankan kepada unsur lingkungan, baik yang melekat pada obyek itu maupun lingkungan di sekitarnya. Penataan lingkungan di sekitar atraksi berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap motivasi pengunjung.
2.   Mengatur prespektif waktu, berbicara mengenai latar belakang sejarah obyek yang disampaikan kepada pengunjung, baik dengan cara lisan, tertulis maupun visualisasi.
3.      Mengatur prespektif sosial budaya, berkaitan dengan penempatan dan kedudukan obyek di dalam lingkungan masyarakat, sejak dari zaman dahulu sampai sekarang.
Di dalam Undang-Undang Cagar Budaya terdapat beberapa ayat yang mengatur mengenai pengelolaan, kebijakan pemerintah dan peran serta masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata di dalam Kawasan Benda Cagar Budaya, yaitu:
1.      Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan ini (pasal 6,ayat 1);
2.      Benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 adalah benda cagar budaya yang:
a)      Dimiliki atau dikuasai secara turun temurun atau merupakan warisan    (ayat 1);
b)      Jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara (ayat 2);
3.      Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah (pasal 18, ayat 1);
4.      Masyarakat, kelompok atau perorangan berperan serta dalam penggelolaan benda cagar budaya dan situs (pasal 18, ayat 2);
5.      Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan situs ditetapkan dengan peraturan pemerintah (pasal 18, ayat 3);
6.      Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (pasal 19, ayat 1);
7.      Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 1 dan tata cara pemanfaatannya ditetapkan oleh peraturan pemerintah (pasal 19, ayat 3).

Dari undang-undang di atas, dapat diartikan bahwa benda cagar budaya perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh untuk menjaga kelestariannya agar dapat di wariskan kepada generasi selanjutnya dan pengelolaan benda cagar budaya untuk keperluan pariwisata ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan perlu diperhatikan untuk melibatkan masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan benda cagar budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar